Von Koenigswald namanya selalu disebut dalam buku pelajaran sejarah Indonesia.
Terutama ketika seorang guru sejarah memaparkan materi manusia purba,
dialah Von Koenigswald. Seorang warga Jerman yang mengungkap sejarah manusia
purba di Indonesia. Meski demikian, buku pelajaran sejarah tidak cukup
memberitahu siapa sebenarnya Von Koenigswald.
Awal Karir
Von Koenigswald
lahir di Berlin pada 13 November 1902. Ia belajar geologi dan paleontologi di
universitas di Berlin, Tübingen, Cologne, dan Munich. Dia menyelesaikan studi
doktornya di Munich pada tahun 1928 di bawah arahan Erich Kaiser.
Sebagai asisten di
Lembaga Koleksi Bavaria di Munich ia memperoleh tawaran untuk bekerja sebagai
ahli paleontologi mamalia dalam sebuah proyek Survei Geologi Belanda di Jawa.
Von Koenigswald menerima tawaran tersebut dan pergi ke Bandung pada tahun 1930,
empat puluh tahun sejak ahli anatomi Belanda Eugene Dubois membuat penemuan
penting tentang Pithecanthropus erectus di pulau Jawa.
Tugas utama Von
Koenigswald dalam survey tersebut adalah bekerjasama dengan para ahli geologi
untuk melakukan pemetaan Lithostratigrafi, sebuah pengamatan lapangan yang
meliputi penampakan fisik batuan, komposisi, struktur geologi, mineral, dan
jenis batuan.
Pada penggalian
survei geologi di Ngandong, Blora, Jawa Timur, sebelas tengkorak hominid
(“kera” besar) ditemukan dalam sebuah lapisan sungai Pleistosen. Tapi
sebenarnya von Koenigswald tidak terlibat langsung dalam penemuan tersebut.
Penggalian saat itu dipimpin oleh Carel ter Haar. Sedangkan tengkorak hominid itu
dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk dipelajari lebih lanjut dan
diperbandingkan dengan penemuan sebelumnya.
Saat itu Von
Koenigswald belum memperhatikan penemuan tersebut. Ia masih fokus pada
pekerjaanya. Namun karena kekurangan biaya survei geologi tersebut dihentikan
pada tahun 1934.
Meski demikian Von
Koenigswald memutuskan untuk tidak kembali ke Eropa. Ia memutuskan untuk
tinggal di Jawa dan melanjutkan pekerjaannya. Dengan mendapatkan izin untuk
menggunakan peralatan dan perpustakaan di Bandung sekaligus dukungan dana
dari yayasan Belanda, ia mampu melanjutkan penelitianya. Ia pergi ke lapangan
dan menemukan alat-alat batu manusia purba yang menarik perhatian seorang
pastur Jesuit asal Perancis sekaligus ahli paleontologi, Pierre Teilhard de
Chardin. Teilhard de Chardin adalah ahli paleontologi yang terlibat dalam
penelitian hominid di Zhoukoudian di Cina. Teilhard de Chardin menemui von
Koenigswald awal tahun 1936. Ia mendukung von Koenigswald untuk melanjutkan
penelitian kepurbakalaan di Jawa.
Kunjungan tersebut
menjadi titik balik bagi karir von Koenigswald di kemudian hari. Tapi Teilhard
de Chardin juga menyadari bahwa penelitian von Koenigswald terbentur pada
keterbatasan dana. Dia akhirnya melobi Carnegie Foundation, dan melalui mediasinya
von Koenigswald berhasil mendapatkan dana.
Segera setelah
Teilhard de Chardin meninggalkan Jawa, fosil hominid ditemukan lagi di Jawa
Timur, di sebelah utara Mojokerto, pada tahun 1936. Kali ini von Koenigswald
tidak membiarkan kesempatan berlalu. Ia mendapat dukungan Franz Weidenreich,
ahli anatomi Jerman yang bertanggung jawab atas penggalian Zhoukoudian di
Beijing. Koenigswald kemudian menerbitkan sebuah deskripsi tentang hominid
Mojokerto. Tengkorak yang ia temukan merupakan tengkorak hominid remaja.
Von Koenigswald
cepat menyadari pentingnya penemuan ini. Dia kemudian melakukan presentasi di
Amerika Serikat dan Eropa pada musim gugur 1936. Ia baru kembali lagi ke Jawa
pada musim semi 1937. Dari presentasinya, ia memperoleh dana yang cukup untuk
melakukan eksplorasi dan koleksi di situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.
Foto yang menunjukkan ketika von Koenigswald sedang melakukan penelitian tengkorak-tengkorak manusia purba. Foto tersebut merupakan koleksi Tropenmuseum Belanda. Sumber foto: wikipedia. |
Konflik von Koenigswald
dengan Dubois
Meskipun tugas
utama von Koenigswald dalam survei sebelumnya tidak melibatkan paleontologi
manusia, ia tahu ketenaran Dubois. Sebagaimana diketahui, Dubois ahli
paleontologi yang menemukan tenngkorak manusia purba dalam dekade terakhir abad
kesembilan belas. von Koenigswald berharap ia menemukan lebih banyak manusia
purba ketimbang Dubois.
Kesempatan itu
akhirnya datang ketika ia menemukan tengkorak anak manusia purba di Jawa Timur
pada bulan Februari 1936. Von Koenigswald kemudian mengirim gambar penemuan
tersebut ke Dubois untuk diminta pendapatnya tentang fosil tersebut. Penemuan
baru ini diterbitkan dalam Proceedings
of the Royal Academy of Sciences di
Amsterdam.
Namun von
Koenigswald mengalami kesulitan ketika hendak menafsirkan temuannya. Ia tidak
cukup ilmu dalam memahami anatomi manusia. Dari sudut pandang geologi,
tempurung kepala tampaknya cukup tua usianya. Satu-satunya bentuk fosil manusia
fosil yang sejaman dengan Pleistosen di Jawa adalah Pithecanthropus. Namun saat
itu belum diketahui tentang anatomi anak Pithecanthropus. Karena usia temuan
tengkorak itu sejaman dengan pleistosen von Koenigswald yakin bahwa tengkorak
tersebut adalah contoh anak Pithecanthropus. Karena ia tidak dapat menemukan
bukti yang meyakinkan, ia mengusulkan nama Homo Mojokertensis untuk temuannya.
Sementara Dubois
tetap meyakini bahwa Pithecanthropus mewakili bentuk peralihan dari primata ke
manusia dengan demikian tidak bisa dianggap sebagai anggota dari genus Homo.
Dalam jawabannya, Dubois menunjukkan fakta bahwa tengkorak temuan von
Koenigswald lebh mirip tengkorak Pithecanthropus dari Trinil. Dari sudut
pandang anatomi, Dubois berkeyakinan bahwa lebih masuk akal untuk menganggap temuan
von Koenigswald itu termasuk kelompok Ngandong dan bukan Pithecanthropus.
Sekembalinya ke
Jawa, von Koenigswald mempelajari bahwa fosil hominid baru telah ditemukan di
situs sebelah barat Trinil yakni Sangiran. Ia menemukan tulang rahang (ramus
mandibula) sebelah kanan yang telah terfragmentasi. Kali ini, von Koenigswald
segera melaporkan penemuan itu ke Dubois dan berjanji untuk mengirim gambar.
Namun janji itu terlupakan karena ia menemukan tengkorak lainnya yang lebih
menarik di Sangiran. Deskripsi tentang tulang rahang bawah (mandibula) diterbitkan pada bulan
November 1937. Penemuan von Koenigswald ini menjadikan diskusi yang lebih luas
tentang manusia Pithecanthropus.
Gambar-gambar hasil
temuan von Koenigswald sampai juga ke tangan Dubois. Ia mulai
membandingkan temuan mandibula von Koenigswald dengan temuannya sendiri
yang berasal dari Kedung Brubus, Madiun, Jawa Timur. Dubois menekankan sejumlah
perbedaan anatomi antara fragmen Kedung Brubus dan mandibula dari Sangiran. Dia
melihat da perbedaan ukuran yang mencolok antara kedua spesimen.
Sayangnya, publikasi von Koenigswald mengalami kesalahan cetak kecil
tapi sangat menentukan berkaitan total panjang fragmen. Dalam publikasi yang
kadung dicetak panjang spesimen itu 1 cm lebih pendek dari panjang sebenarnya.
Dengan data tersebut Dubois meyakini bahwa data tersebut benar sehingga ia
meyakini temuan Koenigswald itu sejalan dengan temuannya.
Akibatnya, fragmen Kedung Brubus disamakan dengan mandibula Sangiran. Dubois lagi-lagi
menyimpulkan bahwa mandibula baru tersebut keliru jika dikaitkan dengan
Pithecanthropus. Dan satu-satunya fosil manusia Jawa adalah dari kelompok
Ngandong sebagaimana ditemukan Dubois. Von Koenigswald mengoreksi kesalahan
publikasi itu pada tahun 1940 dalam publikasi yang komprehensif pada semua
spesimen hominid awal dari Sangiran.
Dari musim semi 1938 dan seterusnya Von Koenigswald tidak lagi
berkorespondensi dengan Dubois. Von Koenigswald tidak mempublikasikan
perbandingan materinya dengan penemuan dari Ngandong yang ditemukan Dubois.
Tanpa seijin Koenigswald, Dubois mengutip publikasinya.
Sementara itu, pengumuman awal von Koenigswald tentang tengkorak
Sangiran muncul pada bulan Desember 1937. Beberapa gambar dicetak bersama
dengan pengumuman tersebut, khususnya tiga puluh fragmen tengkorak. Sekali lagi
Dubois menerapkan metode pengukuran yang di matanya sudah terbukti berguna
ketika menguji mandibula Sangiran. Ia mengukur fragmen pada foto dan
membandingkan panjangnya dengan jarak yang sesuai pada gambar tengkorak yang
telah direkonstruksi. Atas dasar ini ia menyimpulkan bahwa rekonstruksi tidak
dilakukan dengan benar. Bahkan Dubois menuding Von Koenigswald telah memalsukan
rekonstruksi fosil tersebut.
Mengetahui hal itu von Koenigswald marah, terlebih karena Dubois menggunakan
penelitiannya tanpa izin. Dua tahun kemudian hubungan mereka memburuk dalam
ketidakpercayaan dan saling tuding. Di sisi lain, von Koenigswald khawatir
bahwa konflik ini bisa merusak reputasi ilmiahnya karena Dubois sangat berpengaruh
di Belanda. Namun, ketakutan ini tidak beralasan. Von Koenigswald sangat
terluka oleh pelanggaran Dubois dam tundingannya bahw aia telah memalsukan
rekonstruksi fosil. Puluhan tahun setelah kematian Dubois pada tahun 1940 von
Koenigswald masih marah. Namun, karena kurangnya penjelasan publikasinya serta
argumennya yang kurang kuat, von Koenigswald dianggap tidak ahli dalam
paleontologi dan anatomi.
Kerja lapangan di Sangiran
Didukung oleh Yayasan Carnegie von Koenigswald mampu melanjutkan
penggalian di Sangiran dan beberapa fosil hominid yang ditemukan secara
berurutan. Mandibula pertama ditemukan pada akhir 1936 dan spesimen hominid
kedua, potonga-potongan tengkorak, ditemukan pada bulan Agustus 1937. Sangiran
2 (atau Pithecanthropus II) sangat mirip dengan temuan Trinil yang terkenal.
Kecurigaan Dubois yang tidak berdasar dalam hal ini bisa diterima bahwa
Pithecanthropus kedua telah ditemukan.
Pada September 1938 selama kunjungannya, Franz Weidenreich
mengidentifikasi spesimen ketiga dari Sangiran, fragmen tengkorak baru.
Weidenreich dan von Koenigswald yang kemudian mampu mengumpulkan fragmen
lanjutan di lokasi. Dalam rangka memberikan deskripsi yang lebih baik dan
rekonstruksi tengkorak Pithecanthropus, kedua peneliti memutuskan bahwa von
Koenigswald harus mengunjungi laboratorium Weidenreich di Beijing sesegera
mungkin. Von Koenigswald meninggalkan Bandung menuju Beijing pada hari-hari
pertama Januari 1938.
Sebelum keberangkatannya, ia memperoleh hominid penting yang ditemukan
dari Sangiran. Penemuan itu berupa rahang, bagian dari kerangka Pithecanthropus
yang belum ditemukan. Von Koenigswald mendesak kolektor untuk kembali ke situs
tersebut dan mencari potongan terbut lebih lanjut. Pencarian berhasil dan
beberapa minggu kemudian, sebuah paket tiba di Beijing yang berisi tujuh
fragmen besar dari tengkorak yang hampir lengkap. Semakin besar bagian dari
dasar tengkorak itu diawetkan, tapi sayangnya tidak ada kaitannya dengan rahang
atas.
Kedua bagian Sangiran 4 (atau Pithecanthropus IV) disiapkan di Beijing.
Gips tiruan yang mirip aslinya dibuat oleh Hu Chengzi, asisten
Weidenreich di Laboratorium Penelitian Kenozoikum. Von Koenigswald kembali ke
Bandung pada April 1938 dengan gambar, gips, dan deskripsi anatomi yang dibuat
berdasarkan nasihat dari seorang ahli anatomi manusia yang berpengalaman.
Deskripsi anatomi terdiri sebagian besar dari naskah salah satu publikasi von
Koenigswald paling penting, ringkasan penemuan awal di Sangiran, yang selesai
dan diserahkan pada bulan September 1939.
Sekembalinya dari Beijing von Koenigswald kembali meneliti di Sangiran.
Akhir tahun 1939 mandibula lain ditemukan, Sangiran 5 (atau Pithecanthropus C).
Spesimen memiliki anatomi yang agak aneh, tapi karena temuan itu tak lagi utuh,
von Koenigswald tidak dapat mengumumkannya. Pada April 1941 fragmen rahang
bawah lain ditemukan di Sangiran yang jauh yang terbesar dari semua sisa-sisa
mandibula dari Sangiran. Dimensi yang besar menyebabkan von Koenigswald untuk
membuat spesies baru, Meganthropus palaeojavanicus. Dia menyelesaikan publikasi
pada kedua spesimen pada musim semi 1942, tetapi naskah tersebut hilang dan
belum pernah dipublikasikan.
Von Koenigswald dan keluarganya kemudian menghabiskan Perang Dunia II
sebagai tahanan Jepang di berbagai kamp di Jawa. Ia baru dibebaskan pada akhir
tahun 1945 bersama seluruh keluarganya yang sedang sakit dan lemah. Pada
musim panas tahun 1946 keluarga von Koenigswald meninggalkan Jawa menuju New
York. Von Koenigswald diizinkan untuk membawa koleksi hominid berharga dari
Jawa itu ke New York. Semua spesimen fosil selamat dari perang karena
disembunyikan oleh teman-teman dan kolega dan hanya gips yang disimpan di
Survei Geologi. Hanya satu dari tengkorak Ngandong diambil oleh militer Jepang
dan dibawa ke koleksi kekaisaran Tokyo.
Antara tahun 1937 hingga
1941, von Koenigswald menemukan fosil manusia purba di Sangiran di Jawa Tengah,
yang merupakan salah satu situs hominid paling banyak di dunia. Dia menemukan
tiga tengkorak terfragmentasi, lima fragmen rahang, dan banyak gigi hominid
Pithecanthropus (sekarang Homo erectus) dari jaman Pleistosen. Temuan Von
Koenigswald menggarisbawahi peran sentral Pithecanthropus dalam evolusi manusia
dan menguatkan temuan sebelumnya yang dilakukan oleh Eugène Dubois. Von
Koenigswald meninggalkan Jawa pada tahun 1945 dan kemudian ke Belanda. Di sana
ia melanjutkan penelitian tentang fosil hominid, geologi dan paleontologi di masa
Pleistosen.
Ia mengunjungi lagi Asia Tenggara beberapa kali, termasuk pada
kesempatan Kongres Indo-Pasifik yang diadakan di Manila pada tahun 1953.
Studinya di Sangiran dome dilanjutkan oleh Pieter Marks, Teuku Jacob, dan
Sartono, yang telah melakukan penemuan-penemuan penting lain. von Koenigswald
mencoba untuk mengaktifkan dan mendorong para sarjana Indonesia untuk
memperoleh pelatihan ilmiah dan menciptakan infrastruktur sendiri. Dia
mendukung penelitian di Indonesia ketimbang melakukan penelitian proyek sendiri
dan mengikuti kemajuan tanpa terlalu terlibat secara pribadi. Membentuk
infrastruktur ilmiah itu, apalagi, motivasi untuk keputusan von Koenigswald
untuk mengembalikan tengkorak Mojokerto dan koleksi hominid Ngandong ke
Indonesia pada tahun 1979.
Itulah jasa Von konuigswald sebelum meninggal di Bad Homburg, Jerman, 10 Juli 1982.
0 komentar:
Posting Komentar