Rangkuman Biografi Von Koenigswald

Leave a Comment



Von Koenigswald namanya selalu disebut dalam buku pelajaran sejarah Indonesia. Terutama ketika seorang guru sejarah memaparkan materi  manusia purba, dialah Von Koenigswald. Seorang warga Jerman yang mengungkap sejarah manusia purba di Indonesia. Meski demikian, buku pelajaran sejarah tidak cukup memberitahu siapa sebenarnya Von Koenigswald.


Awal Karir

Von Koenigswald lahir di Berlin pada 13 November 1902. Ia belajar geologi dan paleontologi di universitas di Berlin, Tübingen, Cologne, dan Munich. Dia menyelesaikan studi doktornya di Munich pada tahun 1928 di bawah arahan Erich Kaiser.

Sebagai asisten di Lembaga Koleksi Bavaria di Munich ia memperoleh tawaran untuk bekerja sebagai ahli paleontologi mamalia dalam sebuah proyek Survei Geologi Belanda di Jawa. Von Koenigswald menerima tawaran tersebut dan pergi ke Bandung pada tahun 1930, empat puluh tahun sejak ahli anatomi Belanda Eugene Dubois membuat penemuan penting tentang Pithecanthropus erectus di pulau Jawa.

Tugas utama Von Koenigswald dalam survey tersebut adalah bekerjasama dengan para ahli geologi untuk melakukan pemetaan Lithostratigrafi, sebuah pengamatan lapangan yang meliputi penampakan fisik batuan, komposisi, struktur geologi, mineral, dan jenis batuan.

Pada penggalian survei geologi di Ngandong, Blora, Jawa Timur, sebelas tengkorak hominid (“kera” besar) ditemukan dalam sebuah lapisan sungai Pleistosen. Tapi sebenarnya von Koenigswald tidak terlibat langsung dalam penemuan tersebut. Penggalian saat itu dipimpin oleh Carel ter Haar. Sedangkan tengkorak hominid itu dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk dipelajari lebih lanjut dan diperbandingkan dengan penemuan sebelumnya.

Saat itu Von Koenigswald belum memperhatikan penemuan tersebut. Ia masih fokus pada pekerjaanya. Namun karena kekurangan biaya survei geologi tersebut dihentikan pada tahun 1934.

Meski demikian Von Koenigswald memutuskan untuk tidak kembali ke Eropa. Ia memutuskan untuk tinggal di Jawa dan melanjutkan pekerjaannya. Dengan mendapatkan izin untuk menggunakan peralatan dan perpustakaan di Bandung  sekaligus dukungan dana dari yayasan Belanda, ia mampu melanjutkan penelitianya. Ia pergi ke lapangan dan menemukan alat-alat batu manusia purba yang menarik perhatian seorang pastur Jesuit asal Perancis sekaligus ahli paleontologi, Pierre Teilhard de Chardin. Teilhard de Chardin adalah ahli paleontologi yang terlibat dalam penelitian hominid di Zhoukoudian di Cina. Teilhard de Chardin menemui von Koenigswald awal tahun 1936. Ia mendukung von Koenigswald untuk melanjutkan penelitian kepurbakalaan di Jawa.

Kunjungan tersebut menjadi titik balik bagi karir von Koenigswald di kemudian hari. Tapi Teilhard de Chardin juga menyadari bahwa penelitian von Koenigswald terbentur pada keterbatasan dana. Dia akhirnya melobi Carnegie Foundation, dan melalui mediasinya von Koenigswald berhasil mendapatkan dana.

Segera setelah Teilhard de Chardin meninggalkan Jawa, fosil hominid ditemukan lagi di Jawa Timur, di sebelah utara Mojokerto, pada tahun 1936. Kali ini von Koenigswald tidak membiarkan kesempatan berlalu. Ia mendapat dukungan Franz Weidenreich, ahli anatomi Jerman yang bertanggung jawab atas penggalian Zhoukoudian di Beijing. Koenigswald kemudian menerbitkan sebuah deskripsi tentang hominid Mojokerto. Tengkorak yang ia temukan merupakan tengkorak hominid remaja.

Von Koenigswald cepat menyadari pentingnya penemuan ini. Dia kemudian melakukan presentasi di Amerika Serikat dan Eropa pada musim gugur 1936. Ia baru kembali lagi ke Jawa pada musim semi 1937. Dari presentasinya, ia memperoleh dana yang cukup untuk melakukan eksplorasi dan koleksi di situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.

Foto yang menunjukkan ketika von Koenigswald sedang melakukan penelitian tengkorak-tengkorak manusia purba. Foto tersebut merupakan koleksi Tropenmuseum Belanda. Sumber foto: wikipedia.


Konflik von Koenigswald dengan Dubois

Meskipun tugas utama von Koenigswald dalam survei sebelumnya tidak melibatkan paleontologi manusia, ia tahu ketenaran Dubois. Sebagaimana diketahui, Dubois ahli paleontologi yang menemukan tenngkorak manusia purba dalam dekade terakhir abad kesembilan belas. von Koenigswald berharap ia menemukan lebih banyak manusia purba ketimbang Dubois.

Kesempatan itu akhirnya datang ketika ia menemukan tengkorak anak manusia purba di Jawa Timur pada bulan Februari 1936. Von Koenigswald kemudian mengirim gambar penemuan tersebut ke Dubois untuk diminta pendapatnya tentang fosil tersebut. Penemuan baru ini diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Academy of Sciences di Amsterdam.

Namun von Koenigswald mengalami kesulitan ketika hendak menafsirkan temuannya. Ia tidak cukup ilmu dalam memahami anatomi manusia. Dari sudut pandang geologi, tempurung kepala tampaknya cukup tua usianya. Satu-satunya bentuk fosil manusia fosil yang sejaman dengan Pleistosen di Jawa adalah Pithecanthropus. Namun saat itu belum diketahui tentang anatomi anak Pithecanthropus. Karena usia temuan tengkorak itu sejaman dengan pleistosen von Koenigswald yakin bahwa tengkorak tersebut adalah contoh anak Pithecanthropus. Karena ia tidak dapat menemukan bukti yang meyakinkan, ia mengusulkan nama Homo Mojokertensis untuk temuannya.

Sementara Dubois tetap meyakini bahwa Pithecanthropus mewakili bentuk peralihan dari primata ke manusia dengan demikian tidak bisa dianggap sebagai anggota dari genus Homo. Dalam jawabannya, Dubois menunjukkan fakta bahwa tengkorak temuan von Koenigswald lebh mirip tengkorak Pithecanthropus dari Trinil. Dari sudut pandang anatomi, Dubois berkeyakinan bahwa lebih masuk akal untuk menganggap temuan von Koenigswald itu termasuk kelompok Ngandong dan bukan Pithecanthropus.

Sekembalinya ke Jawa, von Koenigswald mempelajari bahwa fosil hominid baru telah ditemukan di situs sebelah barat Trinil yakni Sangiran. Ia menemukan tulang rahang (ramus mandibula) sebelah kanan yang telah terfragmentasi. Kali ini, von Koenigswald segera melaporkan penemuan itu ke Dubois dan berjanji untuk mengirim gambar. Namun janji itu terlupakan karena ia menemukan tengkorak lainnya yang lebih menarik di Sangiran. Deskripsi tentang tulang rahang bawah (mandibula) diterbitkan pada bulan November 1937. Penemuan von Koenigswald ini menjadikan diskusi yang lebih luas tentang manusia Pithecanthropus.

Gambar-gambar hasil temuan von Koenigswald sampai juga ke tangan  Dubois. Ia mulai membandingkan temuan mandibula von Koenigswald  dengan temuannya sendiri yang berasal dari Kedung Brubus, Madiun, Jawa Timur. Dubois menekankan sejumlah perbedaan anatomi antara fragmen Kedung Brubus dan mandibula dari Sangiran. Dia melihat da perbedaan ukuran yang mencolok antara kedua spesimen.

Sayangnya, publikasi von Koenigswald mengalami kesalahan cetak kecil tapi sangat menentukan berkaitan total panjang fragmen. Dalam publikasi yang kadung dicetak panjang spesimen itu 1 cm lebih pendek dari panjang sebenarnya. Dengan data tersebut Dubois meyakini bahwa data tersebut benar sehingga ia meyakini temuan Koenigswald  itu sejalan dengan temuannya. Akibatnya, fragmen Kedung Brubus disamakan dengan mandibula Sangiran. Dubois lagi-lagi menyimpulkan bahwa mandibula baru tersebut keliru jika dikaitkan dengan Pithecanthropus. Dan satu-satunya fosil manusia Jawa adalah dari kelompok Ngandong sebagaimana ditemukan Dubois. Von Koenigswald mengoreksi kesalahan publikasi itu pada tahun 1940 dalam publikasi yang komprehensif pada semua spesimen hominid awal dari Sangiran.

Dari musim semi 1938 dan seterusnya Von Koenigswald tidak lagi berkorespondensi dengan Dubois. Von Koenigswald tidak mempublikasikan perbandingan materinya dengan penemuan dari Ngandong yang ditemukan Dubois. Tanpa seijin Koenigswald, Dubois mengutip publikasinya.

Sementara itu, pengumuman awal von Koenigswald tentang tengkorak Sangiran muncul pada bulan Desember 1937. Beberapa gambar dicetak bersama dengan pengumuman tersebut, khususnya tiga puluh fragmen tengkorak. Sekali lagi Dubois menerapkan metode pengukuran yang di matanya sudah terbukti berguna ketika menguji mandibula Sangiran. Ia mengukur fragmen pada foto dan membandingkan panjangnya dengan jarak yang sesuai pada gambar tengkorak yang telah direkonstruksi. Atas dasar ini ia menyimpulkan bahwa rekonstruksi tidak dilakukan dengan benar. Bahkan Dubois menuding Von Koenigswald telah memalsukan rekonstruksi fosil tersebut.

Mengetahui hal itu von Koenigswald marah, terlebih karena Dubois menggunakan penelitiannya tanpa izin. Dua tahun kemudian hubungan mereka memburuk dalam ketidakpercayaan dan saling tuding. Di sisi lain, von Koenigswald khawatir bahwa konflik ini bisa merusak reputasi ilmiahnya karena Dubois sangat berpengaruh di Belanda. Namun, ketakutan ini tidak beralasan. Von Koenigswald sangat terluka oleh pelanggaran Dubois dam tundingannya bahw aia telah memalsukan rekonstruksi fosil. Puluhan tahun setelah kematian Dubois pada tahun 1940 von Koenigswald masih marah. Namun, karena kurangnya penjelasan publikasinya serta argumennya yang kurang kuat, von Koenigswald dianggap tidak ahli dalam paleontologi dan anatomi.

Kerja lapangan di Sangiran

Didukung oleh Yayasan Carnegie von Koenigswald mampu melanjutkan penggalian di Sangiran dan beberapa fosil hominid yang ditemukan secara berurutan. Mandibula pertama ditemukan pada akhir 1936 dan spesimen hominid kedua, potonga-potongan tengkorak, ditemukan pada bulan Agustus 1937. Sangiran 2 (atau Pithecanthropus II) sangat mirip dengan temuan Trinil yang terkenal. Kecurigaan Dubois yang tidak berdasar dalam hal ini bisa diterima bahwa Pithecanthropus kedua telah ditemukan.

Pada September 1938 selama kunjungannya, Franz Weidenreich mengidentifikasi spesimen ketiga dari Sangiran, fragmen tengkorak baru. Weidenreich dan von Koenigswald yang kemudian mampu mengumpulkan fragmen lanjutan di lokasi. Dalam rangka memberikan deskripsi yang lebih baik dan rekonstruksi tengkorak Pithecanthropus, kedua peneliti memutuskan bahwa von Koenigswald harus mengunjungi laboratorium Weidenreich di Beijing sesegera mungkin. Von Koenigswald meninggalkan Bandung menuju Beijing pada hari-hari pertama Januari 1938.

Sebelum keberangkatannya, ia memperoleh hominid penting yang ditemukan dari Sangiran. Penemuan itu berupa rahang, bagian dari kerangka Pithecanthropus yang belum ditemukan. Von Koenigswald mendesak kolektor untuk kembali ke situs tersebut dan mencari potongan terbut lebih lanjut. Pencarian berhasil dan beberapa minggu kemudian, sebuah paket tiba di Beijing yang berisi tujuh fragmen besar dari tengkorak yang hampir lengkap. Semakin besar bagian dari dasar tengkorak itu diawetkan, tapi sayangnya tidak ada kaitannya dengan rahang atas.

Kedua bagian Sangiran 4 (atau Pithecanthropus IV) disiapkan di Beijing. Gips  tiruan yang mirip aslinya dibuat oleh Hu Chengzi, asisten Weidenreich di Laboratorium Penelitian Kenozoikum. Von Koenigswald kembali ke Bandung pada April 1938 dengan gambar, gips, dan deskripsi anatomi yang dibuat berdasarkan nasihat dari seorang ahli anatomi manusia yang berpengalaman. Deskripsi anatomi terdiri sebagian besar dari naskah salah satu publikasi von Koenigswald paling penting, ringkasan penemuan awal di Sangiran, yang selesai dan diserahkan pada bulan September 1939.

Sekembalinya dari Beijing von Koenigswald kembali meneliti di Sangiran. Akhir tahun 1939 mandibula lain ditemukan, Sangiran 5 (atau Pithecanthropus C). Spesimen memiliki anatomi yang agak aneh, tapi karena temuan itu tak lagi utuh, von Koenigswald tidak dapat mengumumkannya. Pada April 1941 fragmen rahang bawah lain ditemukan di Sangiran yang jauh yang terbesar dari semua sisa-sisa mandibula dari Sangiran. Dimensi yang besar menyebabkan von Koenigswald untuk membuat spesies baru, Meganthropus palaeojavanicus. Dia menyelesaikan publikasi pada kedua spesimen pada musim semi 1942, tetapi naskah tersebut hilang dan belum pernah dipublikasikan.

Von Koenigswald dan keluarganya kemudian menghabiskan Perang Dunia II sebagai tahanan Jepang di berbagai kamp di Jawa. Ia baru dibebaskan pada akhir tahun 1945 bersama seluruh keluarganya yang  sedang sakit dan lemah. Pada musim panas tahun 1946 keluarga von Koenigswald meninggalkan Jawa menuju New York. Von Koenigswald diizinkan untuk membawa koleksi hominid berharga dari Jawa itu ke New York. Semua spesimen fosil selamat dari perang karena disembunyikan oleh teman-teman dan kolega dan hanya gips yang disimpan di Survei Geologi. Hanya satu dari tengkorak Ngandong diambil oleh militer Jepang dan dibawa ke koleksi kekaisaran Tokyo.


Antara tahun 1937 hingga 1941, von Koenigswald menemukan fosil manusia purba di Sangiran di Jawa Tengah, yang merupakan salah satu situs hominid paling banyak di dunia. Dia menemukan tiga tengkorak terfragmentasi, lima fragmen rahang, dan banyak gigi hominid Pithecanthropus (sekarang Homo erectus) dari jaman Pleistosen. Temuan Von Koenigswald menggarisbawahi peran sentral Pithecanthropus dalam evolusi manusia dan menguatkan temuan sebelumnya yang dilakukan oleh Eugène Dubois. Von Koenigswald meninggalkan Jawa pada tahun 1945 dan kemudian ke Belanda. Di sana ia melanjutkan penelitian tentang fosil hominid, geologi dan paleontologi di masa Pleistosen.

Ia mengunjungi lagi Asia Tenggara beberapa kali, termasuk pada kesempatan Kongres Indo-Pasifik yang diadakan di Manila pada tahun 1953. Studinya di Sangiran dome dilanjutkan oleh Pieter Marks, Teuku Jacob, dan Sartono, yang telah melakukan penemuan-penemuan penting lain. von Koenigswald mencoba untuk mengaktifkan dan mendorong para sarjana Indonesia untuk memperoleh pelatihan ilmiah dan menciptakan infrastruktur sendiri. Dia mendukung penelitian di Indonesia ketimbang melakukan penelitian proyek sendiri dan mengikuti kemajuan tanpa terlalu terlibat secara pribadi. Membentuk infrastruktur ilmiah itu, apalagi, motivasi untuk keputusan von Koenigswald untuk mengembalikan tengkorak Mojokerto dan koleksi hominid Ngandong ke Indonesia pada tahun 1979.

Itulah jasa Von konuigswald sebelum meninggal di Bad Homburg, Jerman, 10 Juli 1982.



Read More

Rangkuman Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap

Leave a Comment
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan di kepulauan Indonesia. Letak kerajaan ini berada di Sumatra Selatan. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan". Bila diartikan maka Sriwijaya berarti cahaya kemenangan. Arti kata ini sesuai dengan kondisi Sriwijaya yang terkenal karena pelayarannya dan luas wilayahnya yang hampir mencakup Asia Tenggara.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7 dari seorang Tiongkok bernama I-Tsing.  Dalam catatan perjalanannya I Tsing menjelaskan bahwa ia pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671. I Tsing tinggal di kerajaan itu selama 6 bulan lamanya. Oleh karena itulah catatan I Tsing mengenai Sriwijaya dianggap sumber terpercaya.

Dari catatan sejarawan Arab bisa diketahui bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang memiliki tentara sangat banyak. Hasil pertaniannya antara lain, kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kayu cendana, dan gambir. Hasil pertanian inilah yang diperdagangkan oleh Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan lain.

Dari catatan para pedang asing diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Bukti yang memperkuat hubungan dagang itu antara lain arca, stupa, maupun prasasti lainnya dari Sriwijaya. Selain itu, Sriwijaya juga melakukan perdagangan dengan para pedagang Cina, India dan Arab. Perdagangan itu dilakukan dengan kapal-kapal yang besar.

Selain itu bukti mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada 682 M. Prasasti tersebut beraksara Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa raja berkunjung ke tempat-tempat suci di daerah kekuasaannya.

Namun pada abad ke-11, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M Kerajaan Medang di bawah pimpinan raja Darmawangsa menyerang Sriwijaya. Pada 1025 M, Sriwijaya lagi-lagi mendapat serangan dari kerajaan Cola, India. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang. Setelah itu tidak diketahui keberadaan tentang kerajaan ini.

Setelah kerajaan Sriwijaya runtuh, cerita tentang Sriwijaya belum banyak diketahui. Namun pada 1992-1993, sejarawan Perancis, George Coedès dari École française d'Extrême-Orient berhasil membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking, Sumatra Selatan, Indonesia.



Read More

Rangkuman Mengenai Kehidupan Manusia Purba Lengkap

Leave a Comment
Kehidupan awal manusia purba di Indonesia mulai terkuak semenjak peneliti Belanda Von Koningswald pada 1937-1941 menemukan fosil manusia purba di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah. Fosil itu kemudian dinamainya dengan Meganthropus Palaeojavanicus atau manusia purba raksasa dari Jawa. Berdasarkan penelitiannya manusia purba ini memiliki ciri fisik antara lain; tulang pipi tebal, otot kunyah yang kuat, kening menonjol, berdagu pendek, perawakan tegap, dan kemungkinan memakan tumbuh-tumbuhan. Diperkirakan manusia purba ini hidup di jaman Pleistosen sekitar 600 ribu-1 juta tahun yang lalu. Di jaman pleistosen ini, bumi sudah mulai ada kehidupan.
Manusia purba ini terus berevolusi menyesuaikan dengan kondisi alam. Selain Meganthropus Paleojavanicus di Indonesia juga ditemukan Pithecanthropus erectus. Fosil manusia purba ini ditemukan di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, pada 1891 oleh Eugene Dubois. Diperkirakan Pithecanthropus erectus hidup di jaman pleistosin atau kira-kira 300.000 hingga 500.000 tahun lalu. Ciri fisik yang dintujukkan oleh manusia purba ini antara lain; volume otak mencapai 770 - 1000 cm kubik, kening dan hidung tebal, tengkuk kuat, geraham besar dan kuat, serta berbadan tegap.

Penemuan lain adalah Homo Sapiens dengan ciri-ciri antara lain; volume otak 1000-1200 cc, otot tengkuk menyusut, muka tidak menonjol, badan lebih tegap. Menurut para ahli biologi volume otak berpengaruh pada cara berpikir. Semakin besar volume otaknya semakin cerdas. Oleh karena itu, semakin besar volume otaknya semakin tinggi pula tingkat kebudayaannya.

Penemuan lain adalah Homo Sapiens dengan ciri-ciri antara lain; volume otak 1000-1200 cc, otot tengkuk menyusut, muka tidak menonjol, badan lebih tegap. Menurut para ahli biologi volume otak berpengaruh pada cara berpikir. Semakin besar volume otaknya semakin cerdas. Oleh karena itu, semakin besar volume otaknya semakin tinggi pula tingkat kebudayaannya. 

Berdasarkan penemuan para ahli arkelogi (arkeolog), dapat disimpulkan bahwa manusia purba di Indonesia sudah memiliki teknologi untuk mengatasi masalah-masalah di sekitar mereka. Pembuatan teknologi itu semakin maju jaman semakin meningkat. Berdasarkan peralatan yang digunakan manusia purba, para arkelog membagi ke dalam beberapa jaman; jaman paleolithikum (jaman batu tua), mesolithikum (jaman batu madya), jaman neolithikum (jaman batu muda), dan jaman Megalithikum.

Pada jaman batu tua, alat yang digunakan masih kasar (seadanya). Alat-alat itu antara lain; kapak genggam, kapak perimbas, alat serpih, tanduk rusa, dan alat dari tulang. Pada jaman ini manusianya hidup berkelompok dan berpindah-pindah. Cara mendapatkan makanan dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Di Indonesia, bukti penemuan-penemuan ini ditemukan di Ngandong dan Pacitan Jawa Timur.

Dengan ditemukannya sisa-sisa pembakaran yang sudah memfosil bisa diketahui bahwa manusia purba juga sudah mengenal api. Namun belum diketahui bagaimana mereka membuat api apakah dengan menghasilkan sendiri atau mendapatkan dari sumber alam seperti dari kilat yang menyambar. Dugaan kuat para arkeolog mereka menggunakan percikan dari batu yang digesek. Penemuan api ini mendasari penggunaan teknologi yang lebih maju seperti peleburan logam dan lain-lain. Dengan penemuan api ini manusia purba bisa membuat alat-alat yang terbuat dari besi.

Selanjutnya, di jaman batu madya (berlangsung di jaman Holosen) sebagian kelompok manusia purba mulai hidup menetap. Mereka yang menetap tinggal di gua-gua di pinggir pantai atau sungai. Alat-alat yang mereka pergunakan juga sudah diperhalus. Artinya mereka mulai mengenal seni selain juga berfungsi sebagai alat-alat pendukung kehidupan. Sebagai contoh, kapak genggam yang sebelumnya kasar di jaman mesolithikum sudah diperhalus demikian pula dengan alat-alat dari tulang. Di Indonesia, alat-alat dari jaman batu madya ditemukan di Sumatera, Bone, Siak.

Jaman selanjutnya adalah jaman batu muda. Di jaman ini tingkat kebudayaanya lebih maju ketimbang di jaman batu madya dan batu tua. Mereka sudah mengenal teknik mengamplas sehingga alat yang digunakan lebih berbentuk dan halus. Alat-alat itu antara lain; kapak persegi, kapak lonjong, kapak bahu, gerabah, pemukul kayu, dan benda perhiasan (manik-manik). Di Jaman batu muda manusianya tinggal menetap. Oleh karena itu mereka bisa bercocok tanam dan beternak tidak lagi berburu dan meramu seperti jaman-jaman sebelumnya.

Puncak kebudayaan jaman batu terjadi di jaman batu besar (Megalithikum). Di jaman ini, manusia mulai membuat bangunan-bangunan besar dari batu. Kebudayaan mereka tidak sebatas pada alat pendukung kehidupan tapi juga berkaitan dengan sistem kepercayaan. Bangunan-bangunan yang berkaitan dengan sistem kepercayaan itu antara lain; menhir (tugu pemujaan), kubur batu, dolmen (altar), punden berundak, sarkofagus (keranda). Penemuan di Gunung Padang Cianjur membuktikan adanya kebudayaan megalithikum yang sangat besar menyerupai keduyaan Machu Picu. 

Read More